MAKALAH
GEPENG(GELANDANGAN
DAN PENGEMIS)
DISUSUN OLEH:
LIDYA CAHYANI
1 IA 021
53415825
FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI
TEKNIK INFORMATIKA
UNIVERSITAS GUNADARMA
2016
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan puji dan syukur
kehadirat Tuhan YME, karena atas berkat rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan Tugas ini untuk memenuhi mata kuliah Ilmu Sosial Dasar.
Dalam penulisan karya tulis ini penulis membahas tentang
“Gepeng(Gelandangan dan Pengemis)” sesuai dengan tujuan instruksional khusus mata kuliah Ilmu Sosial Dasar,.Fakultas Teknologi Industri , Jurusan Teknik Informatika, Universitas GUNADARMA.
Dengan menyelesaikan karya tulis ini ini,
tidak jarang penulis menemui kesulitan. Namun penulis sudah berusaha sebaik
mungkin untuk menyelesaikannya, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan
saran dari semua pihak yang membaca yang sifatnya membangun untuk dijadikan
bahan masukan guna penulisan yang akan datang sehingga menjadi lebih baik lagi.
Semoga karya tulis ini bisa bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca
pada umumnya.
Bekasi, januari 2016
Lidya cahyani
DAFTAR ISI
Judul Halaman ……………………………………………………… 1
Kata Pengantar ……………………………………………………… 2
Daftar Isi ……………………………………………………… 3
BAB I : Pendahuluan
1.1 Latar Belakang ……………………………………………………… 4
1.2. Tujuan
Masalah ……………………………………………………... 4
BAB II : Kajian pustaka dan Pembahasan
1 Pengertian Gepeng ………………………………………......................... 5-6
2 Pengertian Pekerja Sosial ………………………………………………………… 7-9
3 Faktor penyebab terjadinya
Gepeng …………………………………………… 10-12
BAB III : Penutup
3.1. Kesimpulan
………………………………………………………..................... 13
3.2 Saran
........................................................................................................... ......... 14
Daftar Pustaka ..............................…………………………………………………….... 15
Daftar Pustaka ..............................…………………………………………………….... 15
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Dampak positif dan negatif tampaknya semakin sulit dihindari
dalam pembangunan, sehingga selalu diperlukan usaha untuk lebih mengembangkan
dampak positif pembangunan serta mengurangi dan mengantisipasi dampak
negatifnya. Gelandangan dan pengemis (gepeng) merupakan salah satu dampak
negatif pembangunan, khususnya pembangunan perkotaan. Keberhasilan percepatan
pembangunan di wilayah perkotaan dan sebaliknya keterlambatan pembangunan di
wilayah pedesaan mengundang arus migrasi desa-kota yang antara lain memunculkan
gepeng karena sulitnya pemukiman dan pekerjaan di wilayah perkotaan dan
pedesaan.
Masalah umum gelandangan dan pengemis pada hakikatnya erat
terkait dengan masalah ketertiban dan keamanan yang menganggu ketertiban dan
keaman di daerah perkotaan. Dengan berkembangnya gepeng maka diduga akan
memberi peluang munculnya gangguan keamanan dan ketertiban, yang pada akhirnya
akan menganggu stabilitas sehingga pembangunan akan terganggu, serta cita-cita
nasional tidak dapat diwujudkan. Jelaslah diperlukan usaha-usaha penanggulangan
gepeng tersebut.
Tampaknya gepeng tetap menjadi masalah dari tahun ke tahun,
baik bagi wilayah penerima (perkotaan) maupun bagi wilayah pengirim (pedesaan)
walaupun telah diusahakan penganggulangannya secara terpadu di wilayah penerima
dan pengirim. Setiap saat pasti ada sejumlah gepeng yang kena razia dan
dikembalikan ke daerah asal setelah melalui pembinaan.
B. Rumusan
Masalah
1. Apa saja faktor yang mempengaruhi
gelandangan dan pengemis (gepeng) di Jakarta?
2. Bagaimana
proses penanganan gelandangan dan pengemis (Gepeng) yang dilakukan oleh Dinas
Sosial kota Jakarta?
C. Tujuan
Penelitian
1. Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi
gelandangan dan pengemis (gepeng) di kota Jakarta.
2. Untuk mengetahui proses penanganan
gelandangan dan pengemis (gepeng) oleh Dinas Sosial kota jakarta
. BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Pengertian
Gelandangan dan Pengemis
Istilah
“gepeng” merupakan singkatan dari kata gelandangan dan pengemis. Menurut Departemen
Sosial R.I (1992), gelandangan adalah orang-orang yang hidup dalam keadaan
tidak sesuai dengan norma-norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat
serta tidak mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap di wilayah
tertentu dan hidup mengembara di tempat umum.
Gelandangan
adalah orang-orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai dengan norma kehidupan
yang layak dalam masyarakat setempat, serta tidak mempunyai tempat tinggal dan
pekerjaan yang tetap di wilayah tertentu dan hidup mengembara di tempat umum.
Sedangkan
pengemis adalah orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan meminta-minta
di tempat umum dengan berbagai cara dan alasan untuk mengharapkan belas kasihan
dari orang lain. Dari
pengertian diatas, selanjutnya bisa dilihat dari kelompok-kelompok pengemis
yang membedakan satu sama lain diantara pengemis yang ada.
Menurut
Muthalib dan Sudjarwo (dalam IqBali, 2005) diberikan tiga gambaran umum
gelandangan, yaitu (1) sekelompok orang miskin atau dimiskinkan oleh
masyaratnya, (2) orang yang disingkirkan dari kehidupan khalayak ramai, dan (3)
orang yang berpola hidup agar mampu bertahan dalam kemiskinan dan keterasingan.
Ali, dkk., (1990) juga menggambarkan mata pencaharian gelandangan di Kartasura
seperti pemulung, peminta-minta, tukang semir sepatu, tukang becak, penjaja
makanan, dan pengamen.
Harth
(1973) mengemukakan bahwa dari kesempatan memperoleh penghasilan yang sah,
pengemis dan gelandangan termasuk pekerja sektor informal. Sementara itu,
Breman (1980) mengusulkan agar dibedakan tiga kelompok pekerja dalam analisis
terhadap kelas sosial di kota, yaitu (1) kelompok yang berusaha sendiri dengan
modal dan memiliki ketrampilan; (2) kelompok buruh pada usaha kecil dan
kelompok yang berusaha sendiri dengan modal sangat sedikit atau bahkan tanpa
modal; dan (3) kelompok miskin yang kegiatannya mirip gelandangan dan pengemis.
Sementara
itu Alkostar (1984) dalam penelitiannya tentang kehidupan gelandangan melihat
bahwa terjadinya gelandangan dan pengemis dapat dibedakan menjadi dua faktor
penyebab, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi
sifat-sifat malas, tidak mau bekerja, mental yang tidak kuat, adanya cacat
fisik ataupun cacat psikis. Sedangkan faktor eksternal meliputi faktor sosial,
kultural, ekonomi, pendidikan, lingkungan, agama dan letak geografis.
Dari
beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa gelandangan adalah seorang
yang hidup dalam keadaan yang tidak mempunyai tempat tinggal dan tidak memiliki
pekerjaan tetap dan mengembara ditempat umum sehingga hidup tidak sesuai dengan
norma kehidupan yang layak dalam masyarakat. Sedangkan pengemis adalah seorang
yang mendapat penghasilan dengan meminta minta di tempat umum dengan berbagai
cara dan alasan untuk mendapatkan belas kasihan dari orang lain.
Gepeng
(gelandangan dan pengemis) adalah seorang yang hidup menggelandang dan
sekaligus mengemis. Oleh karna tidak mempunyai tempat tinggal tetap dan
berdasarkan berbagai alasan harus tinggal di bawah kolong jembatan, taman umum,
pinggir jalan, pinggir sungai, stasiun kereta api, atau berbagai fasilitas umum
lain untuk tidur dan menjalankan kehidupan sehari-hari.
Gelandangan dan
Pengemis pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua, yaitu mereka yang masuk dalam
kategori menggelandang dan mengemis untuk bertahan hidup, dan mereka yang
menggelandang dan mengemis karena malas dalam bekerja. Gelandangan dan pengemis
pada umumnya tidak memiliki kartu identitas karena takut atau malu dikembalikan
ke daerah asalnya, sementara pemerintah kota tidak mengakui dan tidak
mentolerir warga kota yang tidak mempunyai kartu identitas. Sebagai akibatnya
perkawinan dilakukan tanpa menggunakan aturan dari pemerintah, yang sering
disebut dengan istilah kumpul kebo (living together out of wedlock). Praktek
ini mengakibatkan anak-anak keturunan mereka menjadi generasi yang tidak jelas,
karena tidak mempunyai akte kelahiran. Sebagai generasi yang frustasi karena putus hubungan dengan kerabatnya di
desa.
Gelandangan
dan pengemis adalah salah satu kelompok yang terpinggirkan dari pembangunan,
dan di sisi lain memiliki pola hidup yang berbeda dengan masyarakat secara
umum. Mereka hidup terkonsentrasi di sentra-sentra kumuh di perkotaan. Sebagai
kelompok marginal, gelandangan dan pengemis tidak jauh dari berbagai stigma
yang melekat pada masarakat sekitarnya. Stigma ini mendeskripsikan gelandangan dan pengemis dengan citra yang
negatif. Gelandangan dan pengemis dipersepsikan sebagai orang yang merusak
pemandangan dan ketertiban umum seperti : kotor, sumber kriminal, tanpa norma,
tidak dapat dipercaya, tidak teratur, penipu, pencuri kecil-kecilan, malas,
apatis, bahkan disebut sebagai sampah masyarakat.
Pandangan semacam
ini mengisyaratkan bahwa gelandangan dan pengemis, dianggap sulit memberikan
sumbangsih yang berarti terhadap pembangunan kota karena mengganggu
keharmonisan, keberlanjutan, penampilan, dan konstruksi masyarakat kota. Hal
ini berarti bahwa gelandangan dan pengemis, tidak hanya menghadapi kesulitan
hidup dalam konteks ekonomi, tetapi juga dalam konteks hubungan sosial budaya
dengan masyarakat kota. Akibatnya komunitas gelandangan dan pengemis harus
berjuang menghadapi kesulitan ekonomi, sosial psikologis dan budaya. Namun
demikian, gelandangan dan pengemis memiliki potensi dan kemampuan untuk tetap
mempertahankan hidup dan memenuhi kebutuhan keluarganya. Indikasi ini
menunjukkan bahwa gelandangan dan pengemis mempunyai sejumlah sisi positif yang
bisa dikembangkan lebih lanjut.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Pekerjaan Sosial
Pekerjaan
sosial sebagai profesi masih dapat dikatakan sebagai profesi yang baru muncul
pada awal abad ke-20, meskipun demikian, ia mempunyai akar sejak timbulnya
revolusi industri. Berbeda dengan profesi lain yang mengembangkan spesialisasi
untuk mencapai kematangannya, maka pekerjaan sosial lebih berusaha untuk
menyatukan berbagai bidang ilmu ataupun spesialisasi dari berbagai lapangan
praktek.
Menurut International
Federation Of Social Worker (ISFM), pekerjaan sosial (social worker)
adalah sebuah profesi yang mendorong perubahan sosial, memecahkan masalah dalam
kaitannya dengan relasi kemanusiaan, memberdayakan, dan membebaskan masyarakat
untuk meningkatkan kesejahteraannya.
Pekerjaan
sosial adalah aktivitas professional, untuk menolong individu, kelompok dan
masyarakat dalam meningkatkan atau memperbaiki kapasitas mereka agar berfungsi
sosial dan menciptakan kondisi-kondisi masyarakat yang kondusif untuk mencapai
tujuan tersebut.
Menurut
Thelma Lee Mendoza, pekerjaan sosial merupakan profesi yang memperhatikan
penyesuaian antara individu dengan lingkungannya, dan individu (kelompok) dalam
hubungan dengan situasi (kondisi) sosialnya. Pandangan ini mengacu pada konsep
“fungsi sosial” yang terkait dengan kinerja (performance) dari berbagai
peranan sosial yang ada pada masyarakat.
Menurut
Leonora Scrafica-deGuzman Pekerjaan sosial adalah profesi yang bidang utamanya
berkecimpung dalam kegiatan pelayanan sosial yang terorganisasi, dimana
tujuannya untuk memfasilitasi dan memperkuat relasi dalam penyesuaian diri secara
timbal balik dan saling menguntungkan antar individu dengan lingkungan
sosialnya, melalui penggunaan metode-metode sosial.
Tan
dan Envall mendefinisikan Pekerjaan sosial sebagai berikut “profesi pekerjaan
sosial mendorong pemecahan masalah dalam kaitannya dengan relasi kemanusiaan,
perubahan sosial, pemberdayaan dan pembebasan manusia, serta perbaikan
masyarakat. Menggunakan teori-teori perilaku manusia dan sistem-sistem sosial,
pekerjaan sosial melakukan intervensi pada titik (atau situasi) dimana orang
berinteraksi dengan lingkungannya. Prinsip-prinsip hak azasi manusia dan
keadilan sosial sangat penting bagi pekerjaan sosial.
Dari
pandangan di atas, permasalahan dalam bidang pekerjaan sosial, erat kaitannya
dengan masalah fungsi sosial (social functioning), yaitu kemampuan
seseorang untuk menjalankan peranannya sesuai tuntutan lingkungannya. Oleh
karena itu usaha-usaha untuk memberikan pelayanan sosial, baik secara langsung
maupun tidak langsung, juga diarahkan untuk membantu individu, kelompok ataupun
masyarakat dalam menjalankan fungsi sosialnya. Menurut Thelma Lee Mendoza,
secara umum, ada beberapa faktor yang menyebabkan seseorang tidak dapat
menjalankan fungsi sosialnya:
1. Personal
inadequancies or sometimes phatologies which may make it difficult for man to
cope with the demands of his environment. (ketidakmampuan individu atau
kadangkala patologiyang membuat seseorang sulit untuk memenuhi tuntutan
lingkungannya).
2. Situational
inadequancies and other conditions which are beyond man’s coping
capacities,and. (ketidakmampuan situasional (lingkungan dan kondisi
lainnya yang berada dibawah kemampuan individu untuk menyesuaikan diri).
3. Both personal
and situasional inadequacies. (ketidakmampuan/ ketidaklengkapan dari kedua
faktor personal dan situasional).
Dan untuk mengatasi
masalah-masalah dalam fungsi sosial, maka intervensi yang dapat dilakukan
adalah :
Ø Intervention primarily
through person, which involves activities aimed at increasing man’s capacities
to cope with or adjust to his reality situation (such as by changing his
attitudes and teaching him skills). (intervensi yang utama dilakukan
melalui individu, dimana melibatkan kegiatan-kegiatan yang ditujukan pada
peningkatan kemampuan seseorang untuk menyesuaikan diri dengan situasi
realitanya (seperti melalui perubahan sikap dan mengajarkan keterampilan pada
orang tersebut).
Ø Intervention primarily
through his situation which involves activities aimed at modifying the nature
of the reality itself so as to bring it within the range of man’s functional
capacities (such as by minimizing or preventing the causes of stress, by
providing necessary services and facilities). (intervensi yang utama
dilakukan melalui situasi lingkungannya, dimana meliputi kegiatan-kegiatan yang
ditujukan pada pemodifikasian sifat-sifat dasarndan realita itu sendiri agar
dapat masuk kedalam rentangan kemampuan berfungsi orang tersebut(seperti melalui
peminimalisiran atau pencegahan penyebab timbulnya stress, melalui penyediaan
pelayanan dan fasilitas yang diperlukan).
Ø Intervention through
both the person and his situation. (intervensi yang dilakukan melalui
individu dan juga melalui situasi lingkungannya). Sebagai aktivitas pertolongan(helping
profession), pekerjaan sosial bermaksud untuk menyelesaikan masalah sosial
yang terjadi pada individu, keluarga, kelompok, ataupun masyarakat. Layaknya
dokter atau guru, sebagai aktivitas yang professional, pekerjaan sosial
didasari atas tiga kompetensi penting, yakni kerangka pengetahuan (body
of knowledge), kerangka keahlian ( body of skill), dan kerangka
nilai (body of value). Secara integratif, ketiganya menjadi dasar
penting dalam praktik ilmu pekerjaan sosial.
Dari
definisi diatas, dapat dilihat bahwa pekerjaan sosial adalah disiplin ilmu yang
berkepentingan untuk menyelesaikan masalah-masalah sosial, yang dihadapi umat
manusia, artinya, secara operasional pekerjaan sosial pada dasarnya sangat
dekat dengan kehidupan setiap masyarakat. Walaupun demikian, perlu diakui bahwa
secara definitive, pekerjaan sosial relative kurang dikenal dalam masyarakat
Indonesia. Bila dilihat secara definitif,
pengertian pekerjaan sosial yang dikemukakan oleh United States Council
on Social Work Education. Lebih melihat pekerjaan sosial sebagai profesi
yang banyak berfokus pada fungsi sosial individu, ataupun kelompok, terutama
dalam kaitan dengan relasi sosial yang membentuk interaksi antara manusia
dengan lingkungannya, aktivitas ini menurut Skidmore, dapat dikelompokkan
kedalam tiga fungsi:
1. Perbaikan
(restorasi), kapasitas yang dimiliki klien (fungsi rehabilitative dan kuratif).
Aspek kuratif dalam pekerjaan sosial berusaha mengurangi atau menghilangkan
faktor-faktor yang menjadi penyebab kurang berfungsinya seseorang. Aspek rehabilitative dalam
pekerjaan sosial mencoba membina kembali pola-pola interaksi.
2. Penyediaan
sumber daya individu atau masyarakat (fungsi developmental), fungsi
developmebtal ini bertujuan untuk memanfaatkan secara maksimum kemampuan dan
potensi agar interaksi sosialnya lebih efektif.
Pencegahan
disfungsi sosial (fingsi preventif). Fungsi ini melibatkan penemuan,
pengawasan, dan menghilangkan atau mengurangi kondisi atau situasi yang
mempunyai potensi untuk merusak fungsi sosial seseorang.
B. Tujuan
Pekerja Sosial
Sebagaimana
yang telah ditegaskan oleh The National Assosiation Of Social Workers (NASW),
pekerjaan sosial mempunyai empat tujuan utama, akan tetapi The Council
on Social Work Education menambah dua tujuan pekerjaan sosial,
sehingga menjadi enam poin penting, antara lain :
Ø Meningkatkan kapasitas
masyarakat untuk menyelesaikan masalahnya, menanggulangi dan secara efektif
dapat menjalankan fungsi sosialnya. Seseorang yang sedang mengalami masalah,
sering kali tidak memilikikesadaran bahwa dirinya memiliki kemampuan untuk
dapat menyelesaikan masalah tersebut. Pekerja sosial berperan dalam
mengidentifikasi kekuatan klien dan mendorongnya untuk dapat melakukan
perubahan pada kehidupannya.kesadaran tentang kekuatan yang ada pada diri klien
inilah yang menimbulkan suatu nilai terkenal yang dijunjung tinggi dalam
pekerjaan sosial, yakni self determination (keputusan oleh
diri sendiri). Pekerja sosial dalam konteks ini dapat berperan sebagai
konselor, pendidik, penyedia layanan, atau perubah perilaku.
Ø Menghubungkan klien
dengan jaringan sumber yang dibutuhkan. Ibarat memancing, dalam konteks
memberdayakan masyarakat, jika dulu cukup memberikan kailnya saja. Dengan
memberikan pelatihan skill tertentu (misalnya kewirausahaan) kepada rakyat
miskin, mungkin sudah cukup menyelesaikan problem kemiskinan. Namun, kail saja
kini rasanya tidak cukup. Sebab, bagaimana mungkin bisa memancing padahal
“kolam” nya saja sudah tidak tersedia, atau klien merasa kebingungan di “kolam”
mana mungkin dia akan melemparkan kailnya. Dalam hal ini pekerjaan sosial
berfungsi strategis dalam advokasi sosial maupun menghubungkan klien kepada
jaringan-jaringan sumber yang dibutuhkan seorang klien, untuk dapat berkembang
dan mencapai tujuan kehidupannya. Menjadi broker atau pialang sosial adalah
suatu peran strategis, yang dapat dimainkan oleh pekerja sosial untuk mencapai
tujuan ini.
Ø Meningkatkan
kinerja lembaga-lembaga sosial dalam pelayanannya, agar berjalan secara
efektif. Pekerja sosial berperan dalam menjamin agar lembaga-lembaga sosial
dapat memberikan pelayanan terhadap klien secara merata dan efektif. Langkah
ini dilakukan karena lembaga-lembaga sosial dianggap sebagai salah satu peranti
untuk mencapai tujuan-tujuan dari disiplin ilmu pekerjaan sosial. Peran-peran
yang dapat dilakukan pekerja sosial antara lain, pengembang program,
supervisor, koordinator ataupun konsultan. Sebagai pengenbang program, pekerja
sosial dapat mendorong atau merancang program sosial, untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat. Sebagai supervisor, pekerja sosial dapat meningkatkan kinerja
pelayanan lembaga sosial melalui supervise yang dilakukan terhadap
staf-stafnya. Sedangkan, dalam konteks coordinator, pekerja sosial dapat
meningkatkan system pelayanan, dengan meningkatkan komunikasi dan koordinasi
antara sumber-sumber pelayanan kemanusiaan. Memandu lembaga sosial dalam
meningkatkan kualitas pelayanan dapat diperankan oleh pekerja sosial sebagai
konsultan.
Ø Mendorong
terciptanya keadilan sosial melalui pengembangan kebijakan sosial yang
berpihak. Disinilah pekerjaan sosial memiliki kaitan yang sangat erat dengan
kesejahteraan sosial maupun dengan kebijakan sosial. Yang pertama sebagai
tujuan akhirnya sedang kedua sebagai salah satu alat untuk mencapainya.
Keduanya berada dalam wilayah kajian pekerjaan sosial. Pekerja sosial dapat
berperan sebagai perencana (planner) atau pengembang kebijakan (policy
developer).
Ø Memberdayakan
kelompok-kelompok rentan dan mendorong kesejahteraan sosial maupun ekonomi.
Kelompok rentan yang dimaksud seperti orang lanjut usia, kaum perempuan, gay,
lesbian, orang yang cacat fisik maupun mental, pengidap HIV/AIDS (ODHA), dan
kelompok marjinal lainnya. Lazimnya, kelompok masyarakat seperti ini sangat
rentan terhadap pengabaian hak-haknya, sehingga perlu dilindungi agar
memperoleh hah-haknya secara memadai. Selain hak-hak keadilan dan kesejahteraan
sosial diperlukan juga upaya untuk memberikan perlindungan kepada mereka untuk
memperoleh hak-hak keadilan secara ekonomi. Misalnya, peluang untuk memperoleh
pekerjaan atau pelayanan kesehatan. Sebab tidak jarang kelompok rentan seperti
ini kurang mendapat perhatian dalam hak-haknya secara ekonomi.
Ø Mengembangkan dan
melakukan uji keterampilan atau pengetahuan professional. Pekerjaan sosial
diharapkan memiliki dasar-dasar keterampilan dan pengetahuan yang mencukupi
dalam praktiknya. Sehingga perlu ada upaya pengembangan maupun uji kelayakan
terhadap pekerja sosial sendiri. Hal ini dilakukan dengan tujuan agar praktik
pekerjaan sosial yang dilakukan tidak menyimpang, dan sesuai dengan norma dan
etika yang berlaku dalam masyarakat.
C. Faktor
penyebab dari gepeng (gelandangan dan pengemis).
Masalah
sosial tidak bisa dihindari keberadaanya dalam kehidupan masyarakat, terutama
yang berada di daerah perkotaan adalah masalah gelandangan dan pengemis.
Permasalahan sosial gelandanagan dan pengemis merupakan akumulasi dan interaksi
dari berbagai permasalahan seperti hal hal kemiskinan, pendidikan rendak,
minimnya keterampilan kerja yang di miliki,lingkungan, sosial budaya, kesehatan
dan lain sebagaianya. Adapun gambaran permasalahan tersebut dapat di uraikan
sebagai berikut:
1. Masalah
kemiskinan.
Kemiskinan
menyebabkan seseorang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar minimal dan
menjangkau pelayanan umum sehingga tidak dapat Mengembangkan kehidupan pribadi
maupun keluarga secara layak.
2. Masalah
Pendidikan.
Pada
umumnya tingkat pendidikan gelandangan dan pengemis relatif rendah sehingga
menjadi kendala untuk memperleh pekerjaan yang layak
3. Masalah
keterampilan kerja.
Pada
umumnya gelandangan dan pengemis tidak memiliki keterampilan yang sesuai dengan
tuntutan pasar kerja.
4. Masalah
sosial budaya
Ada
beberapa faktor sosial budaya yang mengakibatkan seseorang menjadi gelandangan
dan pengemis:
a. Rendahnya
harga diri.
Rendahnya
harga diri kepada sekelompok orang, mengakibatkan tidak dimiliki rasa bamu untk
minta minta.
b. Sikap
pasrah pada nasib.
Mareka
manggap bahwa kemiskinan adalah kondisi mereka sebagai gelandangan dan pengemis
adalah nasib, sehingga tidak ada kemauan untuk melakuan perubahan.
c. Kebebasan
dan kesenangan hidup mengelandang.
Ada
kenikmatan tersendiri bagi orang yang hidup menggelandang.
D. Dampak
dari galandangan dan pengemis (gepeng)
Dengan
adanya para gelandangan dan pengemis yang berda di tempat tempat umum akan
menimbulkan banyak sekali masalah sosial di tengah kehidupan bermasyarakat di
antaranya:
a. Masalah
lingkungan (tata ruang)
Gelandangan
dan pengemis pada umumnya tidak memiliki tempat tinggal tetap, tinggal di
wilayah yang sebanarnya dilarang dijadika tepat tinggal, seperti : taman taman,
bawah jembatan dan pingiran kali. Oleh karna itu mereka di kota besar sangat
mengangu ketertiban umum, ketenangan masyrakat dan kebersihan serta keindahan
kota.
b. Masalah
kependudukan.
Gelandangan
dan pengemis yang hidupnya berkeliaran di jalan jalan dan tempat umum,
kebanyakan tidak memiliki kartu identitas (KTP/KK) yang tercatat di kelurahan
(RT/RW) setempat dan sebagian besar dari mereka hidup bersama sebagai suami
istri tanpa ikatan perkawinan yang sah.
c. Masalah
keaman dan ketertiban.
Maraknya
gelandangan dan pengemis di suatu wilayah dapat menimbulkan kerawanan sosial
mengagu keamanan dan ketertiban di wilayah tersebut.
d. Masalah
kriminalitas.
Memang
tak dapat kita sangkal banyak sekali faktor penyebab dari kriminalitas ini di
lakukan oleh para gelandangan dan pengemis di tempat keramaian mulai dari
pencurian kekerasan hingga sampi pelecehan seksual ini kerap sekali terjadi.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perilaku menggepeng erat kaitannya dengan urbanisasi, dan
urbanisasi erat kaitannya dengan adanya kesenjangan pembangunan wilayah pedesaan dan perkotaan. Semasih adanya kesenjangan ini maka urbanisasiakan sulit
dibendung dan akan memberi peluang munculnya kegiatan sectorinformal seperti kegiatan
menggepeng.
Pada hakikatnya tidak ada norma
social yang mengatur perilaku menggepeng.
Kegiatan menggepeng umumnya dilakukan ibu-ibu yang disertai dengan
anak-anaknya. Mereka umumnya relative muda dan termasuk dalam tenaga kerja
yang produktif. Pendidikan keluarga
gepeng pada umumnya rendah. Ini disebabkan karena susahnya
masyarakat miskin dalam mengakses pendidikan, jugatermasuk karena anak usia sekolah terpaksa menggelandang dan
mengemisuntuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Akhirnya kebodohan dan kemiskinan pun
seakan menjadi sebuah turunan pada keluarga tersebut. Adanya peran aktif dari berbagai kalangan dalam hal ini dalam pengentasan kemiskinan dan juga masalah
Gelandangan dan pengemis ini.
Ada beberapa langkan yang mungkin dapat diterapkan antara lain adalah
tetap menertibkan para Gelandangan-gelandangan dan Pengemis tersebutdan
berusaha untuk mengembalikan ke kampung halamannya. Berikutnya adalah mengembangkan usaha-usaha dari desa asal
agar tidak terulang permasalahan tersebut, atau dalam kata lain tidak
membuat semacam ketimpangan
pembangunan antara kota dan desa.pemenuhan kebutuhan spiritual untuk memelihara
sikap idealis yang telah ada di masyarakat.
B. Saran
Melihat permasalahan pengemis
yang terjadi di kota jakarta, diharapkan adanya koordinasi dari semua pihak
untuk memberikan penanggulangan terhadap permasalahan pengemis. Dengan
demikian, diharapkan pengemis yang ada semakin berkurang agar tidak mengganggu
kenyamanan Warga ibukota jakarta. Selain itu, perlu diadakannya peningkatan
softskill maupun hardskill agar orang-orang yang saat ini berprofesi sebagai
pengemis dapat mempunyai pekerjaan yang lebih baik daripada pengemis dengan
cara memanfaatkan keahlian yang ia miliki.
Dan juga, peraturan pemerintah mengenai pelarangan pengemis yang beroperasi di tempat-tempat umum dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya agar pengemis merasa jera bila akan beroperasi di tempat-tempat umum.
Dan juga, peraturan pemerintah mengenai pelarangan pengemis yang beroperasi di tempat-tempat umum dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya agar pengemis merasa jera bila akan beroperasi di tempat-tempat umum.
DAFTAR PUSTAKA