Rabu, 15 Juni 2016



HUBUNGAN RELIGIUSITAS DENGAN PERILAKU SOSIAL
1.      Hubungan Religiusitas
Menurut Anshari (1979) walaupun istilah agama sering disamakan dengan istilah yang lain seperti religi (religion: bahasa Inggris) dan (ad-diin: bahasa arab), pada dasarnya semua istilah ini sama maknanya dalam terminologi dan teknis, meskipun masing-masing arti etimologis, riwayat, dan sejarah sendiri-sendiri.  Anshari (1979) mendifinisikan agama, religi, ad-diin sebagai sistem keyakinan atas adanya yang mutlak di luar diri manusia dan suatu sistem peribadatan kepada sesuatu yang dianggap mutlak, yaitu Tuhan yang mempunyai kekuatan dan kekuasaan, serta sistem norma (kaidah) yang mengatur hubungan sesama manusia dengan manusia, dan dengan alam sekitarnya sesuai dan sejalan dengan keyakinan manusia itu sendiri.
Menurut Madjid (1992), religiusitas seseorang adalah tingkah laku manusia yang sepenuhnya dibentuk oleh kepercayaan kepada kegaiban atau alam gaib, yaitu kenyataan-kenyataan supra empiris. Manusia melakukan tindakan empiris sebagaimana layaknya, tetapi manusia yang memiliki religiusitas meletakan harga dan makna tindakan empirisnya di bawah supra empiris.

ASPEK – ASPEK RELIGIUSITAS :

Menurut penelitian Kementerian Negara dan Lingkungan Hidup dan dalam penelitian yang dilakukan oleh Glock dan Stark (Widiyanta, 2005), ada lima dimensi religiusitas, yang oleh peneliti akan dijadikan aspek-aspek dalam menyusun skala religiusitas yaitu:

A. Religious practice (the ritualistic dimension) / Aspek Islam
Tingkatan sejauh mana seseorang mengerjakan kewajiban ritual di dalam agamanya, seperti shalat, zakat, puasa, haji, dan sebagainya.

B. Religious belief (the ideological dimension)/Aspek Iman
Sejauh mana orang menerima hal-hal yang dogmatik di dalam ajaran agamanya. Misalnya kepercayaan tentang adanya Tuhan, malaikat, kitab-kitab, Nabi dan Rasul, hari kiamat, surga, neraka, dan yang lain-lain yang bersifat dogmatik.

C. Religious knowledge (the intellectual dimension)/Aspek ilmu
Seberapa jauh seseorang mengetahui tentang ajaran agamanya. Hal ini berhubungan dengan aktivitas seseorang untuk mengetahui ajaran-ajaran dalam agamanya.

D. Religious feeling (the experiental dimension)/Aspek Ikhsan
Dimensi yang terdiri dari perasaan-perasaan dan pengalaman-pengalaman keagamaan yang pernah dirasakan dan dialami. Misalnya seseorang merasa dekat dengan Tuhan, seseorang merasa takut berbuat dosa, seseorang merasa doanya dikabulkan Tuhan, dan sebagainya

E. Religious effect (the consequential dimension)/Aspek Amal
Dimensi yang mengukur sejauh mana perilaku seseorang dimotivasikan oleh ajaran agamanya di dalam kehidupannya. Misalnya ikut dalam kegiatan konversasi lingkungan, ikut melestarikan lingkungan alam dan lain-lain.

2.Perilaku Sosial
Perilaku adalah merupakan perbuatan/tindakan dan perkataan seseorang yang sifatnya dapat diamati, digambarkan dan dicatat oleh orang lain ataupun orang yang melakukannya sedang sosial adalah keadaan dimana terdapat kehadiran orang lain. Perilaku sosial adalah perilaku yang terjadi dalam situasi sosial, yakni bagaimana orang berpikir, merasa dan bertindak karena kehadiran orang lain. Dapat diartikan juga  sikap dimana kita saling membutuhkan orang lain.
Menurut Krech, Crutchfield dan Ballachey (1982) dalam Rusli Ibrahim (2001), perilaku sosial seseorang itu tampak dalam pola respons antar orang yang dinyatakan dengan hubungan timbal balik antar pribadi. Perilaku sosial juga identik dengan reaksi seseorang terhadap orang lain (Baron & Byrne, 1991 dalam Rusli Ibrahim, 2001). Perilaku itu ditunjukkan dengan perasaan, tindakan, sikap keyakinan, kenangan, atau rasa hormat terhadap orang lain.

Dari uraian diatas dapat diartikan juga bahwa manusia sebagai pelaku dari perilaku sosial yang tidak bisa hidup tanpa orang lain. Artinya manusia memiliki kebutuhan dan
kemampuan serta kebiasaan untuk berkomunikasi dan berinteraksi
dengan manusia yang lain.

Bentuk dan Jenis Perilaku Sosial
Bentuk dan perilaku sosial seseorang dapat pula ditunjukkan oleh sikap sosialnya. Sikap menurut Akyas Azhari (2004:161) adalah “suatu cara bereaksi terhadap suatu perangsang tertentu. Sedangkan sikap sosial dinyatakan oleh cara­-cara kegiatan yang sama dan berulang-ulang terhadap obyek sosial yangmenyebabkan terjadinya cara-cara tingkah laku yang dinyatakan berulang-ulang terhadap salah satu obyek sosial (W.A. Gerungan, 1978:151-152).
Berbagai bentuk dan jenis perilaku sosial seseorang pada dasarnya merupakan karakter atau ciri kepribadian yang dapat teramati ketika seseorang berinteraksi dengan orang lain. Seperti dalam kehidupan berkelompok, kecenderungan perilaku sosial seseorang yang menjadi anggota kelompok akan akan terlihat jelas diantara anggota kelompok yang lainnya.

Perilaku sosial dapat dilihat melalui sifat-sifat dan pola respon antar pribadi, yaitu :
1. Kecenderungan Perilaku Peran
a.      Sifat pemberani dan pengecut secara social
b.      Sifat berkuasa dan sifat patuh
c.      Sifat inisiatif secara sosial dan pasif
d.      Sifat mandiri dan tergantung
2. Kecenderungan perilaku dalam hubungan sosial
a.      Dapat diterima atau ditolak oleh orang lain
b.      Suka bergaul dan tidak suka bergaul
c.      Sifat ramah dan tidak ramah
d.      Simpatik atau tidak simpatik
3. Kecenderungan perilaku ekspresif
a.          Sifat suka bersaing (tidak kooperatif) dan tidak suka bersaing (suka bekerja sama)
b.         Sifat agresif dan tidak agresif
c.          Sifat kalem atau tenang secara sosial
d.        Sifat suka pamer atau menonjolkan diri

Faktor-faktor terhadap perilaku sosial.

a.       Faktor Genetik. Yang dimaksud dengan faktor genetik di sini adalah segala hal yang oleh seseorang dibawa sejak lahir dan bahkan pula merupakan “warisan” dari kedua orang tuanya. Seperti tingkat kecerdasan, sifat pemarah atau penyabar dan lain-lain. Yang kiranya amat penting mendapat perhatian di sini ialah mengusahakan tersedianya data yang lengkap tentang latar belakang kehidupan karyawan. Data tersebut mulai dikumpulkan pada saat seseorang melamar menjadi karyawan organisasi dan terus menerus dimutakhirkan sepanjang karier yang bersangkutan, baik dalam hal melakukan koreksi terhadap perilaku yang sifatnya negatif maupun dalam mengembangkan perilaku organisasional yang sifatnya positif.   
b. Faktor Lingkungan. Yang dimaksud dengan faktor lingkungan di sini adalah situasi dan kondisi yang dihadapi oleh seseorang pada masa usia muda dalam rumah dan dalam lingkungan yang lebih luas, terutama lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat dekat yang dilihat dan dihadapinya sehari-hari.
Perilaku seseorang setelah dewasa banyak dipengaruhi oleh kondisi dalam rumah tangga di mana ia hidup pada waktu masih kecil. Bahkan ada pula ahli yang mengatakan bahwa sesungguhnya kepribadian seseorang telah mulai terbentuk ketika ia masih berada dalam kandungan sang ibu. Jika seseorang dibesarkan dalam rumah tangga yang bahagia, pola perilaku seseorang akan bersifat “baik”, misalnya dalam bentuk sifat-sifat yang positif seperti peramah, gembira, sabar, toleran, mudah diajak bekerjasama dengan orang lain, tidak egoistis, dan memiliki rasa simpati.
Sebaliknya, jika seseorang dibesarkan dalam keluarga yang tidak bahagia, di mana kedua orang tua sering bertengkar, apalagi di hadapan anak-anaknya, sukar diharapkan orang tersebut menumbuhkan kepribadian yang positif. Sebaliknya, kemungkinan besar orang itu akan bersifat egoistis, tingkat toleransinya rendah, memandang dunia sekelilingnya dengan perasaan curiga dan mudah memperlakukan orang lain dengan sikap yang antipati.
Dalam hubungan ini kiranya perlu ditegaskan bahwa kondisi lingkungan rumah tangga yang harmonis tidak identik dengan kehidupan yang secara materi tergolong kaya.
Segi kedua daripada faktor lingkungan adalah faktor sekolah. Lingkungan sekolah hendaknya tidak dipandang sebagai tempat untuk menambang ilmu untuk dipergunakan sebagai modal hidup dikemudian hari, akan tetapi juga sebagai tempat pembinaan sikap mental dan perilaku sosial yang baik. Di samping pengetahuan dan keterampilan, menumbuhkan nilai-nilai budaya, nilai-nilai etika dan nilai-nilai estetika harus pula dilakukan secara programatis dan sistematis. Pembentukan kepribadian di sekolah merupakan sisi lain daripada pembentukan kepribadian di rumah tangga. Karenanya kerjasama para orang tua dan para pendidik menjadi teramat penting.

Segi ketiga dari faktor lingkungan adalah kondisi masyarakat dekat sekeliling, di lingkungan mana anak-anak bergaul dengan sesamanya.
Beberapa hal yang mempunyai pengaruh terhadap perilaku sesorang adalah :
1. Lingkungan yang tentram, dalam arti penuh kedamaian dan bebas dari kehidupan yang curiga mencurigai;
2. Lingkungan yang rukun di mana sesama warga “tidak saling mencampuri urusan orang lain”, tanpa disertai oleh sikap yang acuh tak acuh;
3. Lingkungan yang bersih dalam arti fisik;
4. Tersedianya fasilitas bergaul yang memadai seperti untuk berolah raga, berbincang-bincang dengan rekan-rekan setingkat, dan sebagainya, dan
5. Suasana kemasyarakatan yang mencerminkan keakraban.
 c. Faktor Pendidikan. Pendidikan adalah usaha sadar dan sistematis yang berlangsung seumur hidup dalam rangka mengalihkan pengetahuan oleh seorang kepada orang lain. Dengan pengertian di atas jelas tampak bahwa pendidikan dapat bersifat formal dan non formal. Pendidikan yang sifatnya formal ditempuh melalui tingkat-tingkat pendidikan, mulai dari sekolah taman kanak-kanak hingga, bagi sebagian orang, pendidikan di lembaga pendidikan tinggi, terjadi di ruang kelas dengan program pada umumnya bersifat “structured”. Di pihak lain, pendidikan yang sifatnya non formal dapat terjadi di mana saja karena sifatnya yang “unstructured”. Dalam kedua situasi pendidikan itu, pengalihan pengetahuan dan keterampilan tetap terjadi.
Perlu disadari bahwa sasaran pendidikan tidaklah hanya pengalihan pengetahuan dan keterampilan saja, tapi salah satu bagian terpenting dari upaya pendidikan adalah pembinaan watak (character building). Pembinaan watak, sebagai bagian yang integral daripada usaha pendidikan, dimaksudkan antara lain untuk :

1. Mengembangkan kemampuan berpikir secara rasional,
2. Mengembangkan kemampuan analitik,
3. Mengembangkan kepekaan terhadap perubahn-perubahan yang terjadi di masyarakat pada umumnya,
4. Menumbuhkan dan mengembangkan nilai-nilai etika, estetika, kemandirian, rasa solidaritas social yang tinggi,
5. Mewujudkan persepsi yang tepat tentang peranan dan kedudukan seseorang vis a vis orang lain dalam kehidupan komunal.
Apabila hal-hal di atas dapat diterima dari sekian banyak sasaran melalui kegiatan pendidikan, jelaslah bahwa pendidikan memainkan peranan yang sangat penting dalam pembentukan perilaku administrasi.
Memang diperlukan pengetahuan yang mendalam, misalnya tentang :
1. Raison d’etre serta tujuan organisasi di mana seseorang menjadi anggota;
2. Falsafat yang dianut oleh organisasi dalam rangka pencapaian tujuannya;
3. “clientele groups” yang harus dilayani oleh organisasi;
4. Makna dan hakikat tugas dan fungsi yang harus dilaksanakan;
5. Jenis kegiatan operasional yang harus diselenggarakan.
Berkaitan erat dengan pendidikan sebagai factor pembentuk administrasi adalah keterampilan. Keterampilan adalah kemampuan teknis untuk melakukan sesuatu kegiatan tertentu yang dapat dipelajari dan dikembangkan.
Sebagai bagian dari pendidikan, pengembangan keterampilan pun menpunyai pengaruh yang cukup kuat dalam pembentukan perilaku. Artinya, seseorang yang memiliki keterampilan tertentu akan mudah untuk :
1. Ditempatkan pada sesuatu satuan organisasi tertentu sesuai dengan bidang keterampilannya;
2. Dibina sedemikian rupa sehingga keterampilan dasarnya dapat terus dikembangkan;
3. Memetakan pola karir seseorang sepanjang prestasinya memuaskan;
4. Mengarahkan dan membantu dalam hal menghadapi kesulitan dalam melaksanakan tugasnya.
Asumsi dasar yang biasa dipergunakan dalam memanfaatkan pendidikan sebagai salah satu factor pembentuk perilaku ialah bahwa setiap manusia normal, bukan hanya dapat dikembangkan, akan tetapi ingin terus berkembang.

d. Faktor Pengalaman. Yang dimaksud dengan pengalaman di sini adalah keseluruhan pelajaran yang dipetik oleh seseorang dari peristiwa-peristiwa yang dilaluinya dalam perjalanan hidupnya. Dari pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa pengalaman seseorang sejak kecil turut membentuk perilaku orang yang bersangkutan dalam kehidupan organisasionalnya.
Yang amat penting mendapat perhatian dalam hubungan ini adalah kemampuan seseorang untuk belajar dari pengalamannya, apakah pengalaman itu pahit atau manis.
Ditinjau dari segi teori perilaku administrasi, yang penting mendapat perhatian setiap pimpinan adalah menjaga agar supaya jangan sampai pengalaman pahit seseorang mengakibatkannya mempunyai berbagai sifat yang negative seperti apatisme, “keras kepala”, tidak toleran, mudah putus asa dan sejenisnya. Sebaliknya, jangan sampai pengalaman seseorang menyebabkannya menjadi seorang yang over confidence, arogan, sombong dan sifat-sifat lain seperti itu.
Pengalaman seseorang di sekolah pun akan turut membentuk pola perilaku seseorang. Misalnya, jika seseorang mengalami sesuatu yang kurang baik di sekolah seperti guru yang tidak/kurang berwibawa, guru yang suka main pukul, mutu pelajaran yang rendah dan lain sebagainya, dapat saja mengakibatkan sesorang tidak bergairah untuk mengembangkan pengetahuan dan keterampilannya. Sebaliknya, pengalaman di sekolah yang mendorong pengembangan kreatifitas, gaya hidup yang berdisiplin serta menumbuhkan kehausan kepada ilmu pengetahuan akan menjadi modal yang sangat berharga dalam kehidupan organisasional di kemudian hari.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Artikel Tentang "Paralel Computation"

TUGAS SOFTSKILL  3 “PARALLEL COMPUTATION” Pengantar Komputasi Modern  Nama Anggota            : 1.  Deva Prananda               ...