BAB 3 Komunikasi Desain Visual
Mata Kuliah : Desain Pemodelan Grafik
Nama : Lidya
Cahyani
NPM :
53415825
Kelas :
3IA22
Nama Dosen : Syefani Rahma Deski
1.Pengertian Komunikasi Desain Visual
Desain Komunikasi
Visual masih sangat asing terdengar di kalangan masyarakat sehingga banyak
orang memandang sebelah mata tentang dunia desain, atau Desain Komunikasi
Visual identik dengan iklan memang tidak salah tentang pernyataan ini
namun hal ini juga tidak benar sepenuhnya karena iklan hanya salah satu sarana
(media) yang dihasilkan oleh Desain Komuikasi Visual.
Sekarang akan saya
jelaskan lebih spesifik lagi tentang Desain Komunikasi Visual (DKV), mari kita
mulai dari definisi tentang Desain diambil dari kata
“designo” (Itali) yang artinya gambar. Sedang dalam bahasa Inggris desain
diambil dari bahasa Latin (designare) yang artinya merencanakan atau merancang.
Dalam dunia seni rupa istilah desain dipadukan dalam bentuk, rupa, rancangan
atau sketsa ide.
kata Komunikasi sendiri
berasal dari bahasa Inggris communication yang diambil dari bahasa Latin
“communis” yang berarti “sama” ( dalam Bahasa Inggris:common ). Kemudian
komunikasi kemudian dianggap sebagai proses menciptakan suatau kesamaan (
commonness ) atau suatau kesatuan pemikiran antara pengirim ( komunikator ) dan
penerima ( komunikan ).
Sementara kata Visual bermakna segala
sesuatu yang dapat dilihat dan direspon oleh indera penglihatan kita yaitu
mata. Berasal dari kata Latin videre yang artinya melihat yang kemudian
dimasukkan ke dalam bahasa Inggris visual.
Jadi Desain Komunikasi Visual bisa
dikatakan sebagai seni menyampaikan pesan ( arts of commmunication ) dengan
menggunakan bahasa rupa ( visual language ) yang disampaikan melalui media berupa
desain yang bertujuan menginformasikan, mempengaruhi hingga merubah perilaku
target audience sesuai dengan tujuan yang ingin diwujudkan.
2.Sejarah Singkat Pada Komunikasi Desain Visual
Di Indonesia, Desain grafis dan cabang desain lainnya hadir berkat
digalakannya kolonilaisasi. Pada masa pendudukan Belanda, pemerintahannya
pernah menunjuk beberapa seniman untuk melakukan studi landscape di Indonesia
untuk merekam eksotisme negara ini yang kemudian dituangkan dalam karya lukisan
yang berkesan romantis dan beberapa teknk cetak seperti wood engravingdan lithography.
Karena memang pada masa ini seni rupa Barat sedang merayakan romantisme yang
kajian visualnya seringkali ditujukan pada landscape dan peristiwa heroik, yang
dikenal dengan istilah ‘mooi indie’, atau hindia yang cantik. Berangkat
darinyalah desain grafis mulai diperkenakan secara tidak langsung kepada rakyat
Indonesia. penguasaan teknik cetak pun bukan dari akademi, namun sebatas dari
obrolan dan interaksi dengan orang asing. Mesin cetak pertama kali di datangkan
ke pulau Jawa pada tahun 1659. Karena tidak ada operatornya, mesin itu
menganggur sampai berpuluh-puluh tahun. Tujuan misionaris mendatangkan mesin
cetak erat kaitannya dengan niat mereka untuk mencetak kitab suci dan buku-buku
pendidikan Kristen. Selain mencetak kitab suci, mereka juga menerbitkan surat
kabar berhaluan pendidikan Kristen. moving image,display dan pameran. Sejak tahun 1979, istilah
desain komunikasi visual mulai dipakai menggantikan istilah desain grafis.
Akhir 1970 dan seterusnya, tumbuh perusahaan-perusahaan desain grafis yang
sepenuhnya dipimpin oleh desainer grafis. Berbeda dengan biro iklan,
perusahaan-perusahaan ini mengkhususkan diri pada desain-desain non-iklan,
beberapa di antaranya adalah Vision (Karnadi Mardio), Grapik Grapos Indonesia
(Wagiono Sunarto, Djodjo Gozali, S Prinka dan Priyanto Sunarto), Citra
Indonesia (Tjahjono Abdi dan Hanny Kardinata) dan GUA Graphic (Gauri Nasution).
Di Bandung sebelumnya sudah ada design center Decenta yang didirikan pada tahun
1973, antara lain oleh AD Pirous, T Sutanto, Priyanto Sunarto, yang walau lebih
mengandalkan pada disiplin seni grafis juga menangani beragam produk desain
grafis, mulai sampul buku, kartu ucapan, logo, kalender, pameran dan elemen
estetis gedung.
Periode awal 1980 mencatat perkembangan jumlah perusahaan desain grafis
yang cukup signifikan di Jakarta, antara lain: Gugus Grafis (FX Harsono, Gendut
Riyanto), Polygon (Ade Rastiardi, Agoes Joesoef), Adwitya Alembana (Iwan
Ramelan, Djodjo Gozali), dan di Bandung: Zee Studio (Iman Sujudi, Donny
Rachmansjah), MD Grafik (Markoes Djajadiningrat), Studio “OK!” (Indarsjah
Tirtawidjaja dkk), dll.
Menjelang akhir 1990-an, konsepsi baru seni global yang diberi tajuk
postmodernisme yang digalakan sampai sekarang ini membawa arus perubahan dan
kebaruan yang radikal dan kritis pada seni rupa Indonesia, tidak terlepas seni
grafis. Penyampaian idea yang dimiliki seiman pada karya dituangkan pada
media dan material yang dianggap tidak lazim pada masanya. Seperti lahirnya
performance art, instalasi, dan media lainnya yang unik dan mengundang
kontroversi. Seperti pada Bienalle IX Jogja yang sebagian besar karyanya
merayakan kehadiran potmodernisme dengan menjatuhkan pilihan pada instalasi.
Meskipun begitu, seniman grafis tetap mencoba memadukan teknik grafis dengan
media asing yang dinamai instalasi, sepreti yang dilakukan Marida Nasution pada
pameran ‘Taman Plastik’, Tisna Sanjaya dengan instalasinya yang berjudul ‘Seni
Grafis dan Sepakbola’, dan beberapa seniman lainnya yang mencoba tetap
menyisipkan corak seni grafis yang membentuk proses penciptaan karyanya
bersanding dengan arus deras kritisisme postmodernisme.
Lebih jauh lagi, eksplorasi media seni grafis kian berkembang didukung oleh
laju perkembangan teknologi yang kian pesat juga. Teknologi-teknologi grafis
mutakhir pun seperti c-print, digital print, dll mulai dipertanyakan
konvensinya. Beberapa pihak mencoba untuk mengamini hal tersebut, namun banayak
pihak yang ‘keukeuh’ menyuarakan seni grafis konvensional lebih bernilai
daripada seni grafis dengan media cetak mutakhir, dengan anggapan terlalu
mudahanya reproduksi yang ditawarkan media cetak baru yang disokong teknologi
sehingga dianggap makin menjauhkan dan membei jarak seniman dari karyanya.
Namun kalangan postmodernisme yang ekletis beranggapan bahwa penciptaan karya
seni tidak lagi dibatasi pada konvensinya, namun sejauh apa seniman mampu
mempertanggung jawabkan pemilihan penuangan ide karya pada jenis media.
Selain perkembangan historikal di atas, hal menarik yang terlihat pada
perkembangan seni grafis Indonesia juga tampak pada dialog Jogja-Bandung yang
selalu hangat dibicarakan sampai saat ini, seperit pada seni lukis, seni grafis
pun mulai menampakkan kecenderungan karya yang berbeda antar seniman Jogja dan
Bandung. Secara umum, dari masa Sudjojono, bapak seni lukis modern Indonesia,
kecenderungan mazhab kedua kota ini memang berbeda, Jogja yang lekat dengan
kaitan seni dengan kehidupan sosial kemasyarakatan dan Bandung dengan perayaan
modernism pada karyanya. Pun pada akademi seni yang dikembangkan oleh kedua
kelompok seniman yang telah memiliki perbadaan visi ini, Sekolah Guru Gambar
yang kemudian menjadi ITB, dan ASRI yang kemudian menjadi ISI Jogja. Perbedaan
visi yang diturunkan para pendir akademi ini kemudian berkembang dan kian
mengerucut, sehingga kedua kecenderungan ini ramai dibicarakan. Khususnya pada
seni grafis, kecenderungan penggunaan media pun mulai terlihat, hal ini boleh
jadi disebabkan oleh ketersediaan mesin cetak dan alat pendukung lainnya dalam
berkarya seni grafis. ITB, dikenal sebgai institusi yang memiliki mesin
terlengkap di Indonesia melahirkan seniman yang diberi kesempatan lebih untuk
mengeksplorasi teknik grafis, sementara di Jogja, kelangkaan mesin cetak datar
dan kurang fungsionalnya mesin cetak dalam kemdian megantarkan senimannya untuk
amat menggeluti teknik cetak tinggi. Serigrafi, kemudian menjadi media yang
diminati kedua polar ini, karena kemudahan dalam pengayaan media pendukungnya,
namun tetap memiliki kecenderungan yang berbeda dalam penyajian karyanya.
Keterbatasan mesin ini kemudian tidak dikeluhkan para penggrafis Jogja, mereka
dengan giarnya menggeluti cukil kayu hingga mencapai penguasaan teknis yang
dapat dinilai amat baik. sementara di bandung, tradisi kesadaran media menjadi
hal yang sering dipertanyakan pada senimannya, karena keleluasaan dalam
pemilihan teknik cetak yang digunakan.
Seni grafis
kontemporer Indonesia adalah cabang seni yang dinilai amat kaya, baik secara
visual mauoun ide yang diutuangkan senimannya. proses berkarya grafis kemudian
mempengaruhi kecenderungan berkarya para senimannya kemudian melahirkan seniman
yang memiliki pola kerja yang teratur dan pemikiran yang terstruktur.
Perkembangan seni grafis kontemporer Indonesia kiranya dinilai amat berkembang
dengan baik, eskplorasi teknis diaplikasikan pada media yang dianggap kurang
lazim dalam penyajian karya grafis. Dari kertas, kanvas, kayu, bahkan akrilik.
Perayaan teknologi pun memberikan banyak opsi yang sangat banyak bagi seniman
grafis untuk berkarya. Bahkan lebih jauh lagi, pereneungan kontemplatif seniman
kemudian melahirkan penyajian karya yang menggunakan teknik cetak secara
filosofis.
3.Perbedaan Komunikasi Desain Visual dengan Seni murni.
(Desain Komunikasi Visual) merupakan
perluasan ilmu desain grafis. jurusan ini mendidik mahasiswa terampil mengolah
pesan verbal (lisan) menjadi pesan dalam bentuk visual (gambar). Mahasiswa
diarahkan bisa menggunakan dan memadukan elemen huruf, rupa, dan gambar sebagai
bahasa untuk berkomunikasi secara visual dengan masyarakat.
Secara riil produk dari jurusan ini
adalah mendisain: kemasan produk, brosur, iklan, ilustrasi, animasi, poster,
billboard, banner dll.
Kalau pendidikan seni rupa, lebih ke arah seni secara
umum, baik seni lukis, patung, perspektif, kritik seni, ragam hias, estetika,
gambar sket, fotografi dll.
Referensi
Rakhmat Supriyono.2010.Desain Komunikasi Visual-Teori dan
Aplikasi.Yogyakarta .C.V ANDI OFFSET
https://designideasdkv1.wordpress.com/apa-itu-desain-komunikasi-visual/
http://satrioprmbd.blogspot.co.id/2015/01/pengertian-dan-sejarah-desain.html
https://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20140508020522AAf8CBY
Tidak ada komentar:
Posting Komentar